Ada Lomba Blog, Lho !!

Selasa, 24 Agustus 2010

Dokter Gigi Yang Melacak Pembunuh Napoleon

Tahun 1982 terbit sebuah buku, The Murder of Napoleon, karya Ben Weider dan David Hapgood. Buku ini menceritakan tentang seorang dokter gigi Swedia, Sten Forshufud, yang mengungkapkan bahwa Napoleon mati dibunuh, bukan mati wajar. Forshufud mempunyai niat besar terhadap toksikologi, ilmu tentang racun. Tahun 1955 ia membaca memoar Louis Marchand, pelayan pribadi Napoleon, yang menemani majikannya sampai meninggal di St. Helena. Memoar yang dibuat lebih dari seabad yang lalu itu baru diterbitkan. Marchand mencatat keadaan Napoleon dari hari ke hari: gejala-gejala penyakit yang timbul, apa yang dimakan, bagaimana reaksi Napoleon terhadap makanan itu dan pada obat-obat yang diberikan.

Forshufud terheran-heran, karena yang digambarkan oleh Marchand pada saat-saat terakhir hidup Napoleon itu persis gejala orang yang keracunan arsenik secara kronis: kadang-kadang mengantuk melulu, tetapi kadang-kadang juga tak bisa tidur, kaki bengkak, badan lemas, hati membengkak.

Arsenik sudah berabad-abad dikenal di Prancis sebagai “bubuk pemberi warisan”, karena seringnya dipergunakan untuk membunuh pewaris kaya. Arsenik tak berbau, tak ada rasanya, jadi tidak kentara kalau dicampur ke dalam makanan atau minuman. Arsenik juga bisa diberi dalam dosis kecil selama bertahun-tahun atau berbulan-bulan, sehingga kematian korban tidak tiba-tiba.

Keuntungan cara itu ialah: Pada zaman Napoleon orang belum dapat mendiagnosa peracunan arsenik yang kronis, karena gejala-gejalanya sama dengan penyakit yang umum.

Kalau obat-obat seperti tartar emetic dan calomel diberikan juga, jejak arsenik tak tampak dalam lambung korban, padahal kedua obat itu sering digunakan masa itu untuk pelbagai penyakit. Ternyata Napoleon memang mendapatkannya!

Empat tahun lamanya Forshufud menunggu, tetapi tak ada orang lain yang menyadari atau usil untuk mengemukakan kecurigaan mereka terhadap kematian Napoleon.

Akhirnya Forshufud sendiri berusaha melakukan penyidikan. Pada masa Napoleon, rambut sering dibagikan kepada teman untuk kenang-kenangan. Rambut yang dicukur dari kepala Napoleon pada waktu ia meninggal kini dimiliki oleh pelbagai penjuru dunia. Dari pemeriksaan diketahui bahwa ketika meninggal, rambut Napoleon mengandung arsenik tiga belas kali lebih banyak dari rambut normal.

Dari rambut yang diperoleh seorang teman Napoleon tiga tahun sebelum Napoleon wafat, didapati juga arsenik dalam jumlah di atas normal. Forshufud menarik kesimpulan bahwa saat itu Napoleon sudah diracuni. Kesehatannya memang sudah memburuk waktu itu, padahal waktu Napoleon tiba di St. Helena akhir 1815 ia sehat walafiat. Ketika makam Napoleon digali sembilan belas tahun setelah ia wafat, ternyata jenazahnya yang tak dibalsem itu masih utuh. Arsenik diketahui mengawetkan mayat korbannya.

Berdasarkan hasil penyelidikannya, Forshufud menarik kesimpulan bahwa yang mempunyai kesempatan untuk meracuni Napoleon hanya dua orang. Mereka itu bukan orang Inggris (musuh Napoleon), melainkan justru orang yang paling dekat dengannya, yaitu yang menemaninya terus-menerus selama ia dalam pembuangan (5,5 tahun).

Dua orang itu ialah Count Charles-Tristan de Montholon, perwira yang juga mengurus minuman anggur untuk Napoleon pribadi dan Louis Marchand, pelayan pribadi Napoleon.

Forshufud menuduh Montholon. Soalnya, Marchand sepanjang usia dewasanya mengabdi kepada Napoleon. Ibunya juga pelayan istana, yang pergi ke Wina untuk merawat putra Napoleon, ketika bekas kaisar itu diasingkan ke Pulau Elba. Marchand maupun keluarganya tak punya hubungan dengan kaum royalis Prancis, musuh Napoleon. Wajar saja ia ikut Napoleon ke St. Helena.

Montholon berasal dari kalangan aristokrat lama. Ia pernah mempunyai ganjalan dengan Napoleon. Ketika Napoleon dibuang ke Pulau Elba, Montholon bergabung dengan kaum royalis. Ayah tirinya orang dekat Count d’Artois (kelak menjadi Raja Charles X), saudara Raja Louis XVIII.

Montholon pernah mencuri uang tentara, tetapi untuk kejahatan serius itu ia tak dihadapkan ke mahkamah militer. Tahu-tahu saja ia tampak mengabdikan diri kepada Napoleon, setelah kaisar itu dikalahkan Inggris di Waterloo. Ia menjadi pengurus rumah tangga istana.

Di St. Helena konon istrinya menjadi kekasih Napoleon. Walaupun sampai diejek perwira saingannya untuk hal itu ia tak mau meninggalkan St. Helena. Forshufud menduga hal itu disebabkan karena ia memang ‘ditanam’ Count d’Artois untuk membunuh Napoleon, mungkin dengan imbalan dibebaskan dari keharusan diadili oleh mahkamah militer untuk kesalahannya mencuri.

Diduga racun bagi Napoleon ditaruh dalam minumannya. Montholon memegang kunci tempat tong minuman anggur untuk Napoleon (para pengikut Napoleon mendapat anggur yang lebih murah). Anggur di tong cukup diracuni sekali, tak usah berkali-kali seperti makanan. Pernah seorang perwira, Gourgaud, menderita gejala yang sama dengan bekas kaisar itu, yaitu setelah ia mendapat hadiah sebotol anggur dari Napoleon.

Montholon tidak hadir ketika mayat Napoleon digali. Ia sedang dalam penjara, karena setelah kembali ke Prancis hidupnya tak karuan. Uang warisan 1 juta frank dari Napoleon dihabiskannya dalam waktu tujuh tahun. Ia keluar-masuk ketentaraan. Tahun 1927 diam-diam ia diterima oleh Raja Charles X (Count d’Artois). Charles tak pernah memberinya imbalan di muka umum, sebab pemerintah mana pun memang jarang memberi imbalan kepada orang-orang yang disuruh melakukan ‘pekerjaan kotor’.

Dikutip tanpa perubahan dari Majalah INTISARI Edisi Oktober 1986 halaman 59 – 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar